Oksigen Bumi Lewat Kareumbi

», || Leave a comments

Oksigen Bumi Lewat Kareumbi

Ikut ambil bagian dalam program Wali Pohon, Pertamina menanam 100 ribu bibit pohon di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi. Andil dalam melestarikan kawasan wisata alam dan menghidupkan kembali paru-paru bumi di hutan yang pernah telanjang berdiri.

Jelang siang saat itu, di tengah udara yang begitu sejuk, dengan angin yang berhembus membawa aroma alam dan pepohonan. Udara dirasa begitu segar dan menjernihkan pikiran dan mata saat menikmati panorama alam dan barisan bukit dan gunung. Di bawah kerumunan pohon pinus dan vegetasi lokal lainnya di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi saat itu terlihat berbagai aktivitas orang berbagai usia, mulai dari bersantai, berkemah, outbound, berburu objek foto hingga orientasi mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi.

Orang-orang tampak menikmati dan melepas kerinduannya dengan alam. Jarak 14 kilometer yang ditempuh dengan medan berkelok naik melewati puluhan Dusun di empat Desa, Desa Dampit, Tanjung Wangi dan Sindulang menjadi tidak terasa, kala sampai di tujuan, Kawasan Wisata dan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi.

Terletak di Basecamp Kareumbi, Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi. Kampung Leuwi Liang, Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Jawa Barat, lahan yang sejatinya merupakan kawasan taman buru yang kini menjadi wilayah konservasi dan eco wisata ini terbentang di lahan seluas 12.420,70 hektar dan terletak pada area yang menjadi kewenangan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut. Sebagian besar area berada di Sumedang dan Garut.

Uniknya, jika kita sampai di sana, maka kita akan sekaligus berada di 3 batas wilayah sekaligus, dan ketika kita berpindah beberapa meter, maka kita sudah berada di wilayah lain di Jawa Barat. Kawasan konservasi Kareumbi juga merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk yang juga menjadi penyangga bagi sungai Citarum, sungai terbesar di Jawa Barat.

Nama Masigit diambil dari Pasir Masigit yang terletak di sebelah timur kawasan. Sedangkan Kareumbi berasal dari Gunung Kareumbi di sebelah barat kawasan. Kareumbi juga tampaknya diambil dari nama sebuah pohon, yaitu pohon Kareumbi (Homalanthus populneus) yang semestinya dahulu banyak terdapat di gunung tersebut.

Namun siapa sangka Kareumbi dulunya memiliki masa-masa kritis, saat bukit-bukit dan gunungnya terancam telanjang berdiri. Pada tahun 1998 terjadi penyelewengan izin tebang yang dilakukan oleh pengelola taman buru terdahulu. Saat itu pengelola mendapatkan izin menebang sejumlah pohon dengan alasan pemberdayaan ladang penggembalaan, untuk bisa ditanami rumput, dengan catatan penebangan dapat dilakukan dalam jumlah kuota pohon tertentu.

Akan tetapi dalam perjalanannya, terjadi penyalahan izin. Penebangan dilakukan melampaui dari kuota yang ditentukan. Hal tersebut pun kemudian menyeruak dan menjadi kasus yang menyeret banyak pihak kepada hukum, terutama pihak pengelola, sampai akhirnya kawasan ini diambil lagi pengelolaannya oleh Balai Konservervasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

"Namun apa daya hutan sudah kadung gundul," ungkap Direktur Konservasi, UUO Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi, Sandyakala Ningtyas yang akrab dipanggil Echo.

Echo menuturkan, modus penebangan pohon yang dilakukan pengelola saat itu terbilang cerdik dan efisien tanpa mengeluarkan biaya. Pengelola terdahulu memberdayakan tenaga gratis dari masyarakat, dengan iming-iming pembukaan lahan bercocok tanam.

"Silahkan ajah garap, tapi ini yah nitip kayunya," Echo menirukan.

Cara tersebut memang sangat hemat dan efisien ketimbang cara yang dilakukan oleh Echo yang membuka lahan sendiri dengan tenaga dan biaya sendiri. Namun setelah lahan-lahan tersebut dibuka dan digunakan untuk berkebun, sedimentisasi lahan kemudian semakin tinggi akibat pola bercocok tanam yang tidak membumi dengan menggunakan mulsa atau penutup tanah berbahan plastik yang menyebabkan run off saat terjadi hujan deras.

Erosi kemudian meninggalkan bekas dengan sendimentasi yang sukses menenggelamkan danau-danau di sekitar kawasan. Seperti yang terjadi pada Situ (Danau) Gamlok yang kini berubah menjadi rawa-rawa. Echo mengungkapkan, seharusnya danau-danau tersebut ada demi keseimbangan alam yang bisa menahan air selama mungkin di hulu agar jangan langsung ke hilir.

Hingga tahun 2008, kawasan ini terutama area "KW" (Kawasan Wisata) berada dalam kondisi terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang dibangun oleh pengelola sebelumnya, termasuk oleh pemerintah dan berbagai program yang telah diluncurkan lambat laun rusak. Selain itu, perambahan kawasan untuk pertanian dan pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan serta kayu bakar juga marak. Demikian juga perburuan liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak berbekas.

Pada sekitar tahun 2006, sesepuh Wanadri yang sering melakukan perjalanan ke kawasan ini, Remi Tjahari (W-090-LANG) melihat potensi kawasan yang sangat besar. Namun di balik potensi kawasan sebagai daerah konservasi dan sangat layak dikembangkan untuk wisata dan pendidikan alam terbuka juga terdapat potensi kerusakan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Akhirnya pada tahun 2007, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri menyampaikan minat untuk melakukan pengelolaan kawasan pada pihak Kementerian Kehutanan dan BBKSDA.

Setelah melalui proses presentasi yang memakan waktu panjang yang berakhir persetujuan, maka pada akhir tahun 2008 dibentuklah tim yang disebut Tim Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi. Sejak itu tim mulai bekerja melakukan pembenahan di kawasan utama yang disebut "KW". Model pembenahan kawasan dengan cara cost-recovery dan pola pelibatan masyarakat sekitar kawasan serta kolaborasi dengan berbagai pihak. Strategi tersebut menjadi andalan tim manajemen ini.

Program-program awal yang dilakukan di sini adalah Pendidikan dan Pelatihan serta Program Konservasi Wali Pohon. Sejak diperkenalkan pada akhir 2008 sampai Maret 2009, program Wali Pohon telah menanam sejumlah 10.500 batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama 5 tahun. Namun dengan berbagai pertimbangan masa garansi atau pemeliharaan tersebut kemudian dipersingkat menjadi tiga tahun.

"Sebenarnya dengan pengalaman yang udah, pas 2012 itu kita udah jalan yang 3 tahun juga, dan dengan pemeliharaan yang bagus, itu sudah cukup. Tapi sebenarnya itu sebenarnya kita nggak nyalahin akad, karena selama ada Wanadri di sana, sudah pasti kita punya tanaman ya kita rawat," terang Echo.

Pertamina dengan melalui program Corporate Sosial Responsibility (CSR) lingkungannya merasa terketuk untuk ambil bagian dalam program penanaman pohon ini. Dimulai sejak tahun 2012 hingga 2013, Pertamina memberikan bantuan berupa 100 ribu pohon melalui keikutsertaanya dalam program Wali Pohon. Penanaman dilakukan dalam dua tahap, 50 ribu di tahun pertama dan sisanya pada tahun berikutnya.
$[ 0 comments Untuk Artikel Oksigen Bumi Lewat Kareumbi]$

Post a Comment

 
|January»|»February»|»March»|»April»|»May»|»June»|»July»|»August»|»September»|»October»|»November»|»December|